18 Mar 2013

Filsafat Jodoh untuk Kaktus dan Karet

Selepas kelas Pak Ojan, dalam geliat angin senin pagi, tiba-tiba tangan saya tergerak memukul ruas-ruas keyboard secara tak beraturan. Menuntun pikiran saya menatap lurus ke hamparan air yang bergelombang di depan mata, menggoyang pantulan warna merah jembatan Teksas, melayang jauh entah kemana. Bukan ke FE, FIK, atau MIPA.



Jemari saya tergesa kawan, segera menuliskan rangkaian editorial ini. Yah, secara tak sengaja entah kenapa saya ingin menulis sesuatu untuk beberapa kawan seangkatan yang mukanya mulai menua memikirkan kerasnya hidup, memikirkan jodoh, dan memikirkan bagaimana mampu meraih garis finish terbaik untuk meraih tangan”nya” tanpa tersandung polisi tidur atau polisi yang benar-benar sedang tiduran di jalan (memangnya ada ?).

Oke kawan, berangkat dari rasa prihatin dan kesetiakawanan, maka kutulis risalah ini untuk mereka. Saya sangat prihatin melihat dua orang teman ini. Sebut saja namanya Kaktus, dan yang satu lagi namanya Karet. Jadi ini adalah cerita tentang Kaktus dan Karet. Dua anak Arab yang hidup padahal sejatinya tidak hidup. Dua mahasiswa yang sedang tidur padahal sejatinya sedang terjaga. Dua mahasiswa yang menyandang gelar mahasiswa padahal sejatinya mereka memang mahasiswa. Hehehe





Baiklah, bisa dibilang, Kaktus dan Karet mengalami masa pubernya secara normal. Namun, yang menjadi masalah, mereka merasa normal itu tidak baik sehingga mereka menjadikan pubernya menjadi tidak normal. Jika matamu jatuh pada wajahnya, tentu kau akan miris kawan. Wajah mereka sayu ditumbuhi cambang yang tidak terawat dan tidak pula tercukur tuntas. Cambang-cambang yang kasar segera tumbuh dalam tinggi yang berbeda, bahkan rumput dan ilalang mulai terlihat tumbuh di pipi dan lehernya. 

Padi, juga mulai tumbuh. Adapula bawang, pohon jati dan bermacam sayuran seperti sawi dan bayam yang sepertinya sudah muncul dipermukaan kulit wajah mereka. Aih, indah bukan. Bahkan ketika saya menulis tulisan ini, pak tani sedang mengasah cangkul disamping saya, menatap saya dengan senyum penuh misteri dan racun,  bersiaga untuk bertanam membangun irigasi dan terasering di wajah mereka.

Adapun rambut mereka, amboi!!! Seperti rambut asli!! Ohh ternyata memang itu rambut asli.

Oke kawan, Kaktus maupun Karet berjalan dengan tegap. Namun jika kau melihat dengan mata batinmu maka kau akan melihat mereka berjalan sempoyongan. Jujur kadang mereka tersandung dan bahkan mereka menjadikan orang lain berjalan tersandung. Jika seandainya Dajal menampakkan kata “Kafir” di jidatnya, maka dua teman saya ini menuliskan kata “Aku Galau” dengan spidol yang biasa dipakai para dosen BIPA. Sungguh ekstrim bukan?

 ---

Sebenarnya apa sih yang membuat mereka terombang ambing dalam masa puber yang terlalu berlebihan? Ah, ternyata masalahnya simple kawan, mereka sedang melabuhkan hatinya pada seseorang yang mungkin kau sendiri tahu siapa dia. Mereka tahu panah itu melukai, namun mereka biarkan hati mereka sebagai sasaran panah mata dari si idaman. Bagi mereka, luka itu nikmat jika yang melukai adalah yang dicinta. 

Ah, karena itu Karet dan Kaktus kemudian sering berpikir radikal, integral, dan tentu saja terlampau mengagumi filsuf Descartes sehingga seringkali jatuh dalam keragu-raguan. Mereka jatuh karena menerka siapa jodoh yang akan mereka dapat. Urat menegang, mata berkerut begitu pula dahi, mereka menendang-nendang tanpa peduli. Bahkan ketika yang lewat adalah satpam Fasilkom dan penjaga Kopma.

Berbicara masalah jodoh, Kaktus dan Karet terlalu semangat di awal. Menggebu, namun kemudian lesu ketika pembicaraan selesai dan mereka sadar bahwa apa yang sedang mereka bicarakan adalah sandiwara lisan dan kata-kata. Mari kita bantu mereka memahami apa yang terjadi dengan konsensus pemahaman sesuatu yang dikatakan sebagai Jodoh.

Rasa-rasanya, sayang jika mereka terlalu berpikir, atau bahkan menguras pikiran untuk sesuatu yang masih jauh dari kenyataan dan penuh dengan teka-teki. Jodoh itu teka teki kawan. Oke saya punya sebuah pertanyaan yang cukup kau jawab dalam hati. “siapa jodohmu?” tentu kau tak akan bisa menjawab, sungguh. Meski sekarang, pada hentakan kalimat ini terbayang wajah-wajah lawan jenismu, teman sekelas, sejurusan, sefakultas, sekampus, sekampung, atau bahkan wajah-wajah yang tak pernah kau temui. 

Jodoh, biarkan saja. Dia belum tentu seseorang yang sedang kau cintai sekarang. Bisa jadi dia merupakan orang yang kau benci, orang yang kau jadikan bahan lelucon, atau mungkin orang yang berpapasan denganmu, duduk disampingmu, namun sekali lagi, sungguh, engkau tak pernah mengenalnya kecuali setelah engkau duduk pada satu tatanan lembaga yang nanti disebut sebagai keluarga.

Wajar saja kawan, bukankah merugi engkau memikirkan dia, membuang sebagian besar waktumu, tenagamu, energimu hanya untuk sesuatu yang tidak produktif, tidak mendatangkan kebaikan kecuali membuat hatimu semakin lalai dan gairah hidupmu luntur perlahan. 

Tenang saja, sejatinya jodoh itu terhalang tabir hijab yang sangat tebal, kuncinya ada ditangan sang pemilik alam dan kehidupan sehingga kau tak akan pernah tahu sejauh apa dia dan sedekat apa dia, kecuali Dia yang maha kuasa membuka tabir hijab pada waktu yang telah ditetapkan untukmu, waktu terbaik dan saat yang paling tepat dalam kehidupanmu, suatu saat nanti. Percayalah, terlebih lagi kau kawan, Kaktus dan Karet.

Bidadariku,
Namamu tak terukir
Dalam catatan harianku
Asal usulmu tak hadir
Dalam diskusi kehidupanku
Wajah wujudmu tak terlukis
Dalam sketsa mimpi-mimpiku
Indah suaramu tak terekam
Dalam pita batinku
Namun kau hidup mengaliri
Pori-pori cinta dan semangatku
Sebab
Kau adalah hadiah agung
Dari Tuhan
Untukku
Bidadariku[1]

Semoga Allah menetapkan kebaikan dan perlindungan atas hati yang mudah guncang, rapuh dan penuh luka akan pandangan mata.


Dibawah naungan kesejukan
Klaster, 18 Maret 2013



[1] Puisi H.E. Shirazy, Novel Ayat-ayat Cinta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Widget

Catatan | Bahasa, Linguistik, Sastra, Latar Belakang, Tokoh

Widget