Selepas kelas
Pak Ojan, dalam geliat angin senin pagi, tiba-tiba tangan saya tergerak memukul
ruas-ruas keyboard secara tak beraturan. Menuntun pikiran saya menatap lurus ke
hamparan air yang bergelombang di depan mata, menggoyang pantulan warna merah
jembatan Teksas, melayang jauh entah kemana. Bukan ke FE, FIK, atau MIPA.
Jemari saya tergesa kawan, segera menuliskan rangkaian editorial ini. Yah, secara tak sengaja entah kenapa saya ingin menulis sesuatu untuk beberapa kawan seangkatan yang mukanya mulai menua memikirkan kerasnya hidup, memikirkan jodoh, dan memikirkan bagaimana mampu meraih garis finish terbaik untuk meraih tangan”nya” tanpa tersandung polisi tidur atau polisi yang benar-benar sedang tiduran di jalan (memangnya ada ?).
Oke kawan, berangkat dari rasa prihatin dan kesetiakawanan, maka kutulis risalah ini untuk mereka. Saya sangat prihatin melihat dua orang teman ini. Sebut saja namanya Kaktus, dan yang satu lagi namanya Karet. Jadi ini adalah cerita tentang Kaktus dan Karet. Dua anak Arab yang hidup padahal sejatinya tidak hidup. Dua mahasiswa yang sedang tidur padahal sejatinya sedang terjaga. Dua mahasiswa yang menyandang gelar mahasiswa padahal sejatinya mereka memang mahasiswa. Hehehe
Jemari saya tergesa kawan, segera menuliskan rangkaian editorial ini. Yah, secara tak sengaja entah kenapa saya ingin menulis sesuatu untuk beberapa kawan seangkatan yang mukanya mulai menua memikirkan kerasnya hidup, memikirkan jodoh, dan memikirkan bagaimana mampu meraih garis finish terbaik untuk meraih tangan”nya” tanpa tersandung polisi tidur atau polisi yang benar-benar sedang tiduran di jalan (memangnya ada ?).
Oke kawan, berangkat dari rasa prihatin dan kesetiakawanan, maka kutulis risalah ini untuk mereka. Saya sangat prihatin melihat dua orang teman ini. Sebut saja namanya Kaktus, dan yang satu lagi namanya Karet. Jadi ini adalah cerita tentang Kaktus dan Karet. Dua anak Arab yang hidup padahal sejatinya tidak hidup. Dua mahasiswa yang sedang tidur padahal sejatinya sedang terjaga. Dua mahasiswa yang menyandang gelar mahasiswa padahal sejatinya mereka memang mahasiswa. Hehehe
Baiklah, bisa
dibilang, Kaktus dan Karet mengalami masa pubernya secara normal. Namun, yang
menjadi masalah, mereka merasa normal itu tidak baik sehingga mereka menjadikan
pubernya menjadi tidak normal. Jika matamu jatuh pada wajahnya, tentu kau akan
miris kawan. Wajah mereka sayu ditumbuhi cambang yang tidak terawat dan tidak
pula tercukur tuntas. Cambang-cambang yang kasar segera tumbuh dalam tinggi
yang berbeda, bahkan rumput dan ilalang mulai terlihat tumbuh di pipi dan
lehernya.
Padi, juga mulai tumbuh. Adapula bawang, pohon jati dan bermacam sayuran seperti sawi dan bayam yang sepertinya sudah muncul dipermukaan kulit wajah mereka. Aih, indah bukan. Bahkan ketika saya menulis tulisan ini, pak tani sedang mengasah cangkul disamping saya, menatap saya dengan senyum penuh misteri dan racun, bersiaga untuk bertanam membangun irigasi dan terasering di wajah mereka.
Padi, juga mulai tumbuh. Adapula bawang, pohon jati dan bermacam sayuran seperti sawi dan bayam yang sepertinya sudah muncul dipermukaan kulit wajah mereka. Aih, indah bukan. Bahkan ketika saya menulis tulisan ini, pak tani sedang mengasah cangkul disamping saya, menatap saya dengan senyum penuh misteri dan racun, bersiaga untuk bertanam membangun irigasi dan terasering di wajah mereka.
Adapun rambut
mereka, amboi!!! Seperti rambut asli!! Ohh ternyata memang itu rambut asli.
Oke kawan, Kaktus
maupun Karet berjalan dengan tegap. Namun jika kau melihat dengan mata batinmu
maka kau akan melihat mereka berjalan sempoyongan. Jujur kadang mereka
tersandung dan bahkan mereka menjadikan orang lain berjalan tersandung. Jika seandainya
Dajal menampakkan kata “Kafir” di jidatnya, maka dua teman saya ini menuliskan
kata “Aku Galau” dengan spidol yang biasa dipakai para dosen BIPA. Sungguh
ekstrim bukan?
---
Sebenarnya apa
sih yang membuat mereka terombang ambing dalam masa puber yang terlalu berlebihan?
Ah, ternyata masalahnya simple kawan, mereka sedang melabuhkan hatinya pada
seseorang yang mungkin kau sendiri tahu siapa dia. Mereka tahu panah itu
melukai, namun mereka biarkan hati mereka sebagai sasaran panah mata dari si
idaman. Bagi mereka, luka itu nikmat jika yang melukai adalah yang dicinta.
Ah, karena itu Karet dan Kaktus kemudian sering berpikir radikal, integral, dan tentu saja terlampau mengagumi filsuf Descartes sehingga seringkali jatuh dalam keragu-raguan. Mereka jatuh karena menerka siapa jodoh yang akan mereka dapat. Urat menegang, mata berkerut begitu pula dahi, mereka menendang-nendang tanpa peduli. Bahkan ketika yang lewat adalah satpam Fasilkom dan penjaga Kopma.
Ah, karena itu Karet dan Kaktus kemudian sering berpikir radikal, integral, dan tentu saja terlampau mengagumi filsuf Descartes sehingga seringkali jatuh dalam keragu-raguan. Mereka jatuh karena menerka siapa jodoh yang akan mereka dapat. Urat menegang, mata berkerut begitu pula dahi, mereka menendang-nendang tanpa peduli. Bahkan ketika yang lewat adalah satpam Fasilkom dan penjaga Kopma.
Berbicara
masalah jodoh, Kaktus dan Karet terlalu semangat di awal. Menggebu, namun
kemudian lesu ketika pembicaraan selesai dan mereka sadar bahwa apa yang sedang
mereka bicarakan adalah sandiwara lisan dan kata-kata. Mari kita bantu mereka
memahami apa yang terjadi dengan konsensus pemahaman sesuatu yang dikatakan sebagai
Jodoh.
Rasa-rasanya,
sayang jika mereka terlalu berpikir, atau bahkan menguras pikiran untuk sesuatu
yang masih jauh dari kenyataan dan penuh dengan teka-teki. Jodoh itu teka teki
kawan. Oke saya punya sebuah pertanyaan yang cukup kau jawab dalam hati. “siapa
jodohmu?” tentu kau tak akan bisa menjawab, sungguh. Meski sekarang, pada
hentakan kalimat ini terbayang wajah-wajah lawan jenismu, teman sekelas,
sejurusan, sefakultas, sekampus, sekampung, atau bahkan wajah-wajah yang tak
pernah kau temui.
Jodoh, biarkan saja. Dia belum tentu seseorang yang sedang kau cintai sekarang. Bisa jadi dia merupakan orang yang kau benci, orang yang kau jadikan bahan lelucon, atau mungkin orang yang berpapasan denganmu, duduk disampingmu, namun sekali lagi, sungguh, engkau tak pernah mengenalnya kecuali setelah engkau duduk pada satu tatanan lembaga yang nanti disebut sebagai keluarga.
Jodoh, biarkan saja. Dia belum tentu seseorang yang sedang kau cintai sekarang. Bisa jadi dia merupakan orang yang kau benci, orang yang kau jadikan bahan lelucon, atau mungkin orang yang berpapasan denganmu, duduk disampingmu, namun sekali lagi, sungguh, engkau tak pernah mengenalnya kecuali setelah engkau duduk pada satu tatanan lembaga yang nanti disebut sebagai keluarga.
Wajar saja
kawan, bukankah merugi engkau memikirkan dia, membuang sebagian besar waktumu,
tenagamu, energimu hanya untuk sesuatu yang tidak produktif, tidak mendatangkan
kebaikan kecuali membuat hatimu semakin lalai dan gairah hidupmu luntur
perlahan.
Tenang saja, sejatinya jodoh itu terhalang tabir hijab yang sangat tebal, kuncinya ada ditangan sang pemilik alam dan kehidupan sehingga kau tak akan pernah tahu sejauh apa dia dan sedekat apa dia, kecuali Dia yang maha kuasa membuka tabir hijab pada waktu yang telah ditetapkan untukmu, waktu terbaik dan saat yang paling tepat dalam kehidupanmu, suatu saat nanti. Percayalah, terlebih lagi kau kawan, Kaktus dan Karet.
Tenang saja, sejatinya jodoh itu terhalang tabir hijab yang sangat tebal, kuncinya ada ditangan sang pemilik alam dan kehidupan sehingga kau tak akan pernah tahu sejauh apa dia dan sedekat apa dia, kecuali Dia yang maha kuasa membuka tabir hijab pada waktu yang telah ditetapkan untukmu, waktu terbaik dan saat yang paling tepat dalam kehidupanmu, suatu saat nanti. Percayalah, terlebih lagi kau kawan, Kaktus dan Karet.
Bidadariku,
Namamu
tak terukir
Dalam
catatan harianku
Asal
usulmu tak hadir
Dalam
diskusi kehidupanku
Wajah
wujudmu tak terlukis
Dalam
sketsa mimpi-mimpiku
Indah
suaramu tak terekam
Dalam
pita batinku
Namun
kau hidup mengaliri
Pori-pori
cinta dan semangatku
Sebab
Kau
adalah hadiah agung
Dari
Tuhan
Untukku
Bidadariku[1]
Semoga Allah
menetapkan kebaikan dan perlindungan atas hati yang mudah guncang, rapuh dan
penuh luka akan pandangan mata.
Dibawah
naungan kesejukan
Klaster,
18 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar