19 Mar 2013

Mundurnya Umat Islam karena "Biadab"

Zaman pun sudah berlalu, roda terus berputar, angin terus berhembus meninggalkan negeri menuju negeri yang lain, jejaknya memberi  kesan yang mendalam di sanubari.  Peradaban  Islam yang pernah berjaya kini tinggal cerita. Apa hendak dikata, Tuhan pun bercerita dalam Quran Agung: 
"Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran” (QS. Al-Imran :140)
Ayat ini menerangakan bahwa kemunduran adalah ketetapan Allah, sebagaimana Allah menjadikan kaum  tersebut maju.  Allah tidaklah mempergilirkan nasib suatu kaum kecuali ada hikmah di dalamnya. Bayangkan jika kita terus-terusan berjaya sampai sekarang? Niscaya kita akan lupa dan semakin sombong. Sehingga semakin jauhlah  kita dari Sang Pencipta. 

Selain itu, dengan kemunduran kita sekarang dituntut untuk mengetahui sebab kemunduran kita dan berusaha memperbaikinya, serta  tidak mengulanginya. Kita diberi kesempatan untuk merenung dan medekatkan diri kita dengan Sang Maha Pencipta. Lantas, apa yang membuat kita mundur? Apa kelemahan kita?

Banyak di antara kita yang menghubungkan kemunduran umat Islam dengan jatuhnya politik, yakni jatuhnya kekhilafahan yang terakhir yakni kekhilafahan Turki Utsmani. Ketika keruntuhannya tahun 1924, kaum muslimin di seluruh dunia meresponnya dengan kesedihan. Beberapa ada yang berusaha memperjuangkannya kembali. 

Memang sewajarnyalah kita bersedih, karena fakta menunjukkan bahwa setelah runtuhnya khilafah, negeri-negeri muslim kemudian jatuh dalam penjajahan negeri-negeri Barat.  Tak hanya daerah teritorial, penjajahan ini bahkan mencakup pula segi kebudayaan, ekonomi, bahkan pemikiran. Beberapa lagi menghubungkan kemunduran umat Islam dengan kemunduran ekonomi. 

Perekonomian memang selalu penting dalam kemajuan, tetapi ia bukanlah sebab kemunduran, melainkan ia sendiri menjadi indikator dari kemajuan. Sesungguhnya ada hal mendasar yang menyebabkan umat islam mundur. Seorang pemikir Islam kontemporer terkemuka, Syed Muhammad Naguib al-Attas selalu mengatakan bahwa persoalan utama yang dihadapi umat Islam adalah konsep berpikir, bukan politik, ekonomi dan lain-lain.

Selain itu, umat Islam mengalami kondisi ketiadaan adab (The Loss of Adab). Di sini penulis akan membahas perkara yang kedua yakni ketiadaan adab. Hal ini dikarenakan amat dekatnya fenomena ini terjadi di sekitar kita dan sudah menjadi hal yang umum.

Ketiadaan adab (the loss of adab), penulis definisikan sebagai kondisi di mana suatu masyarakat sedang mengalami kemerosotan akhlak. Kondisi ini terjadi karena kurangnya kesadaran sebagai akibat kering-kerontangnya keadaan spiritual. Ketiadaan adab terjadi hampir di seluruh masyarakat muslim. Hal ini menyebabkan kemunduran berbagai aspek kehidupan. 

Pemimpin yang tidak beradab akan menuruti hawa nafsunya dibanding mengurus negara dan rakyatnya. DPR yang tidak beradab akan seenaknya tidur tanpa merasa bersalah dalam sidang. Begitu pula dengan gubernur, bupati, dan PNS.  Mereka yang tak beradab selalu telat masuk kerja, tugas ngaret, berleha-leha, dan bekerja setengah-setengah. Pemimpin seperti ini akan terus mewarisi sifat buruknya kepada bawahannya. Lalu di kalangan mahasiswa, mereka yang tak beradab akan seenaknya mencontek, melakukan plagiat, berisik di perpustakaan umum, dan membuang sampah sembarangan. 

Di kalangan masyarakat, ketiadaan adab contohnya berupa buang sampah di jalan atau di sungai, kencing sembarangan, meludah sembarangan, tidak tertib di jalan raya, dan masih banyak contoh lainnya. Bayangkan, dengan masyarakat seperti ini, mustahil negara akan maju. 
 
Dibandingkan dengan negara Barat, kita masih kalah dalam hal ini. Memang, Barat saat ini mengalami kemerosotan akhlak. Tetapi dalam hal ketertiban mereka jauh mengungguli kita. Coba kita tengok negara-negara maju seperti Amerika, Jerman, Inggris, Singapura dan Belanda. Di negara mereka kebersihan selalu terjaga. Masyarakatnya juga lebih tertib. Tak ada penduduk yang membuang sampah ke sungai, tak ada yang ngeludah sembarangan dan mencoret-coret tembok. Selain itu, limbah-limbah industri di sana dikelola dengan baik. Dengan demikian, mereka dapat dikatakan sebagai bangsa yang beradab (dalam tanda kutip tentunya).

Demikianlah, ketiadaan adab telah menimpa umat Islam. Hampir semua negara-negara dengan mayoritas umat Islam penduduknya masih kurang adab. Kita sebagai mahasiswa muslim harus menerapkan adab yang baik, karena mahasiswa merupakan calon penerus bangsa. Oleh karena itu, adab merupakan sebuah keniscayaan bagi terciptanya kemajuan. Seramai apapun orang-orang di seantero negeri menginginkan kemajuan--kalau rakyatnya masih suka buang sampah sembarangan--mustahil kemajuan dapat terwujud. Pertanyaannya, maukah kita merubah diri kita? Atau anda tetap tetap menjadi orang “biadab”[1]?

Wallahu A`lam.




[1] Merupakan kebalikan dari beradab. KBBI versi elektronik terbitan depdikbud menyebutkan bahwa biadab berarti belum beradab,  belum maju kebudayaannya, tidak tahu adat (sopan santun); kurang ajar tidak beradab; kejam.


Ditulis oleh:
Muhammad 'Lili' Romli - Arab 2010  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Widget

Catatan | Bahasa, Linguistik, Sastra, Latar Belakang, Tokoh

Widget