Sebetulnya, judul pun tak ada kaitannya dengan serial ini.
Beberapa Minggu ini Kaktus dan Karet telah pulih dari cedera psikologisnya. Alhamdulillah. Mereka sudah bisa tertawa dan menari balet, berguling-guling tanpa tujuan di klaster semenjak azan shubuh sampai maghrib. Mereka bisa tertawa lepas terbahak-bahak meski mereka sadar mulut mereka terbuka lebar di depan wajah seorang dosen. Menghujani wajah si dosen apes dengan hujan buatan dari saliva yang tidak hanya mengandung senyawa garam (NaCl) beryodium, melainkan dalam cairan pembuat peta otomatis tersebut, mengandung pula senyawa bahan pembuat minuman Mijon, Magnesium-Elektrolit, lalu ada pula enzim alfa-amilase dengan p.h minus empat, serta yang tak kalah menarik saliva mereka mengandung potasium klorat, sedikit senyawa amoniak dan asam amino untuk bahan mercon bulan ramadhan. Lihat saja, wajah si dosen serentak berganti rona kemerahan, mengeriput perlahan dan kegirangan, berteriak dalam hati (ah, ah, lagi, lagi) dan entah datang darimana, kemudian si dosen malah berkeramas penuh penghayatan dengan shower dari limpahan air terjun saliva Kaktus dan Karet, sebagaimana iklan sampo sansilik yang biasa saudara-saudara lihat di televisi berwarna. Tentu, dengan gaya yang aduhai...... Memprihatinkan.
Kaktus dan Karet telah pulih dari cederanya. Saya pikir hal ini tidak akan terjadi cukup lama, mungkin hanya beberapa hari saja. Hal ini tidak bisa dijadikan patokan, toh kemarin Karet membalas tulisan ini dengan judul yang cukup samar, sedikit kata semantik namun tak berhubungan sama sekali. Yah setidaknya ia menutupi masalahnya untuk menyerang Kaktus sebagai terdakwa. Saya rasa hal yang demikian biasa saja, yang jelas hal itu wajar-wajar saja. Itulah hidup, hati senantiasa terbolak-balik, kadang tegas dan kadang lemah. Tak ada yang mengingkari bahwa sesungguhnya sekuat apapun hati, pasti ia akan selalu berubah. Sehingga tidak mengherankan jika engkau tinggal di sini. Fakultas ini penuh dengan panah dan busur-busur yang siap dilepaskan dari para pemilik wajah seindah bulan. Wajar saja karet melentur selentur-lenturnya dan kaktus menjadi kaku sekaku-kakunya. Di sini terlalu banyak bidadari sebagaimana banyaknya air yang memenuhi langit ketika hujan. Tapi, lupakan itu kawan. Kita tidak berbicara tentang masalah ini. Kita tidak akan berbicara tentang Kaktus dan Karet. Kita akan berbicara tentang kehidupan, kita berbicara mengenai hal yang lebih bermanfaat dan berfaidah, Insya Allah.
Kisah ini berkaitan dengan teman Kaktus dan Karet, sebut saja namanya Kopra-salah satu jenis tanaman komoditi ekspor di Indonesia tercinta. Kopra, bukan termasuk mahasiswa yang suka bergaya, suka berdandan, suka pakai rok, suka ganti-ganti jilbab, suka pakai gelang, suka pakai anting, suka pakai eye shadow, dan suka beli poster Lee min oh atau pak tarno. Ya iyaalah, orang si Kopra itu cowok boi. Hehehe, you don’t say boy ... ! si kopra itu cowok tulen malah. Lihat aja dilehernya, ada tato plus tanda barcode yang kalau dibaca tulisannya pakai aplikasi QR code di HP adalah “seratus persen cowok tulen, pakai tul pakai len, tuu~leen Boo’ , rempong deh”. Kopra ini bukan tipe mahasiswa galau, cuma pelupanya minta ampun. Pokoknya pelupa bangetlah. Parah deh pelupanya. Ampun dah, saya jadi lupa mau nulis apa.
Berbicara tentang sifat pelupa Kopra, ada yang menarik kawan. Seringkali Kopra pergi kuliah dengan sepeda motor, namun pulang dengan bikun. Sampainya dirumah, dia baru sadar kalau sepeda motornya ketinggalan di kampus. Bahkan seringkali Kopra ketika sedang asyik belajar, lupa meletakkan pensilnya. Maka seluruh kamar dan isi tas ia bongkar, termasuk kamar tetangga, bahkan kamar pak RW dan pak RT juga. Sampai saat ketika tiba dihadapan cermin tampaklah wajahnya yang penuh duka dengan sebuah pensil yang terselip di atas telinganya. Aih, sebenarnya inti dari tulisan ini bukan tentang Kopra ataupun sifat pelupanya, tidak sama sekali. Saya tidak tertarik menulis sesuatu selain hal yang patut untuk direnungkan. Tapi tetap saja saya ingin bicara tentang Kopra meski tadi saya bilang tak akan berbicara tentangnya. Musykilah?
Baik, ada satu kebaikan dan selalu dilakukan oleh Kopra. Apa itu? Berpikir positif. Begini kawan, Kopra berpikir bahwa hidup itu terlalu buruk jika di isi dengan hal-hal buruk dan memenuhi pikiran dengan keburukan yang amat banyak. Bukankah memang hidup itu senantiasa terasa ringan dan mudah ketika engkau mendapat masalah, lalu kau mensikapinya dengan berpikir positif. Berpikir positif yang secara otomatis membuatmu mampu tersenyum ketika engkau seharusnya menggerutu dan bersungut-sungut. Benar sekali si Kopra ini. Anak siapa sih si Kopra ini? Yang pasti si Kopra anak dari bapaknya Kopra. Hehehe, dia mengajarkan kepada saya satu nilai hidup yang seandainya tidak diturunkan nilai-nilai kebaikan lain dalam hidup, niscaya berpikir positif cukup sebagai penguat jiwa ketika lemah.
Lihat saja, seseorang yang berpikir positif kerapkali tersenyum meski mendapat luka, meski kehilangan, meski orang yang disayangi tiada. Ia berpikir toh, dengan ratapan, kesedihan dan kemarahan hidup dan takdir itu tak akan pernah berubah. Kenyataan tak akan pernah berubah dengan tangisan dan kutukan akan hidup, kecuali bertambahnya kegusaran dan kelemahan jiwa. Orang yang berpikir positif senantiasa berpikir tentang kebaikan, bahkan dalam hal yang paling buruk sekalipun. Ia berpikir pasti Allah punya tujuan lain yang lebih baik baginya, entah ia ketahui atau tidak, tapi hikmah itu akan ia temukan suatu waktu pada saat yang teramat tepat. Hikmah yang sebenarnya. Bukan hikmah ramadhan atau yang biasa dipanggil odon.
Lihat saja, seseorang yang berpikir positif kerapkali tersenyum meski mendapat luka, meski kehilangan, meski orang yang disayangi tiada. Ia berpikir toh, dengan ratapan, kesedihan dan kemarahan hidup dan takdir itu tak akan pernah berubah. Kenyataan tak akan pernah berubah dengan tangisan dan kutukan akan hidup, kecuali bertambahnya kegusaran dan kelemahan jiwa. Orang yang berpikir positif senantiasa berpikir tentang kebaikan, bahkan dalam hal yang paling buruk sekalipun. Ia berpikir pasti Allah punya tujuan lain yang lebih baik baginya, entah ia ketahui atau tidak, tapi hikmah itu akan ia temukan suatu waktu pada saat yang teramat tepat. Hikmah yang sebenarnya. Bukan hikmah ramadhan atau yang biasa dipanggil odon.
Beginilah, si Kopra akhirnya membuang jauh-jauh celah yang menyeretnya untuk berbuat buruk. Sekalipun itu hanya terbersit dalam pikiran. Ia penuhi pikirannya dengan hal-hal positif, dan kebaikan. Simpelnya ia berpendapat bahwa hidup itu seperti cermin. Dan bahkan cermin adalah kehidupan itu sendiri. Kehidupan yang jujur. Bagaimana bisa?
Bisa saja. Begini kawan, cermin selalu berkata apa adanya dan tak pernah berbohong perihal adanya dirimu didepannya. Cermin akan mengatakan jelek jika engkau jelek dihadapannya. Cermin senantiasa memantulkan apa yang kau tampakkan agar kembali kepada dirimu. Jika kau menyipitkan matamu, maka cermin akan menampilkan dirimu yang menyipitkan matanya. Jika kau bercermin dengan muka paling jelek, maka cermin akan menampilkan ulang wajahmu yang telah kau upayakan terlihat jelek. Cermin memantulkan apa yang kamu berikan padanya secara sempurna. Jika kamu tersenyum pada cermin, cermin akan memantulkan senyumanmu. Jika kamu menangis pada cermin, maka cermin akan memantulkan tangisanmu. Cermin akan memantulkan dirimu secara apa adanya, hitam atau putih dirimu.
Begitupula pada hidup, apa yang kita berikan pada hidup, hidup akan mengembalikannya pada kita. Jika kamu tersenyum padanya, maka ia akan tersenyum padamu. Jika kau merengut padanya, maka ia akan merengut pula padamu. Jika kau mengeluh pada hidup, ia akan mengeluh pula padamu. Jika kau memberi dan mengasihi kepada hidup dan sesamamu, niscaya ia akan mengembalikannya kepadamu. Utuh, sebagaimana engkau memberi, seperti itulah engkau menerima. Al jazaa’ min jinzil ‘amal (setiap perbuatan, dibalas menurut perbuatannya). Begitulah kawan, setidaknya mulai saat ini kita bisa tersenyum setiap saat. Jika tidak sekarang memulai berpikir positif dan selalu berhusnudzan, lalu kapan lagi?
Dasar, muke gile si Kopra.
Di sore yang lapar,
Gedung 4
Ditulis oleh:
Anonimous - Arab 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar