
Beberapa tahun sebelum waktu berjalan tiba, kami berlari menembus batas waktu yang terhimpit dan berdiri membatasi zaman. Antara masa lalu dan masa depan yang saling menindih, meletakkan celak asa kekhawatiran dan seribu satu harapan yang mengambang.
Kami telah terbiasa terdesak, dipukul matahari, disengat dingin dan bayangan kematian yang bisa datang kapan saja. Butiran keringat yang membanjiri peluh, pukulan kata-kata yang menyakitkan dari sekian celaan tajam manusia, dan hamburan senyuman yang selalu kami biarkan mengembang dan bersemi dipahatan wajah keras yang kami miliki. Keras ditempa zaman, dihentak masa, dicekal waktu. Karena telah kami biarkan berlalu, kami juga berusaha mengiringinya.
Bahkan berlari beberapa jarak didepan, mendahuluinya. Telah lama himpunan masa itu berlalu. Akhirnya, sekarang kami sampai pada kesimpulan yang lekang dan rapuh. “hidup tak lain hanya kumpulan tawa dan tangis, harapan dan rasa takut, perjuangan dan pertahanan, peperangan kebenaran dan kejahatan, selebihnya? Tidak lebih hina dari sayap nyamuk”. Lalu, kalaulah begitu apa yang seharusnya kami harapkan?
Masa lalu kami adalah kumpulan memori yang gelap dan suram, penuh dengan teka-teki makna beserta hikmah, kadangkala kami menemukan artinya secara tak sengaja. Jauh setelah waktu itu berlalu, setelah bayangan itu tenggelam digenggam zaman. Kalaulah seandainya engkau meminta kami menceritakan, tentu tak akan pernah kami menceritakan kepada kalian.
Siapa shahabat kami yang rela berjalan beriringan? Tidak ada. Shahabat kami hanyalah petir yang menyambar, shahabat kami hanya pekatnya angin dan rintik hujan dikala musimnya. Mematuk, memekik, meraung. Alam adalah shahabat kami. Kami tak perduli manusia bukan karena kami tak perduli. Tetapi, merekalah yang sebenarnya tak pernah perduli. Lihatlah senyum palsu yang mereka tarik disimpul wajahnya ketika seorang bocah kecil pemanggul derita menghadapnya. Senyum itu mengusir siapapun, orang yang lebih hina menurut mereka, untuk segera pergi secepatnya. Sejauhnya. Tanpa perduli himpitan masa depan yang masih gelap dan berdiri menjulang didepan sang pembawa derita. Saya, kami, kamu, dia, aku, kita adalah satu bagian utuh yang terpisah. Kepingan sejarah yang tercerai berai, kemudian menjalin dan saling bertaut untuk membentuk sebuah cerita yang beragam. Pro dan kontra, berbeda sudut pandang dalam setiap masalah.
Senantiasa dalam berbagai keadaan, leher kami terjerat oleh tajamnya pedang zaman. Terbelenggu oleh kokohnya cengkeraman pandangan mata yang cela. Menuntut kami melakukan apapun yang ingin kami jauh darinya sejauh barat dan timur, titik hilang sejauh mata memandang. Apalah. Bersama pula kalian berseru diantara mereka. Tak ada lagi yang perlu kita risaukan bersama karena selalu tak ada jalan keluar yang sempurna menurutku. Biarkan kami berjalan, dan kami biarkan kalian terus membakar mulut kalian dengan cela api yang disemburkan kepada langkah dan sekitar jalan kami.
Bukankah setiap jalan itu berduri? Sekalipun taman mawar yang dipenuhi keindahan dan semerbak harum pesona yang senantiasa tak pernah memukul lebah-lebah untuk terpesona.
Kataku, kata-kataku, adalah lazimnya senjata yang kumiliki
Senyuman, dan tumpahan airmata, adalah sekian ribu pelipur derita nestapa
Langkahan kaki kami, tatapan lurus wajah kami, tak kan pernah bisa berpaling hanya karena kalian.
Kami, sekalipun beratnya tekanan tak akan pernah mampu dikekang selain oleh Tuhan
Itulah kemuliaan kami dan kami rela menempuhnya.
Kami, sepenuhnya adalah manusia merdeka
(di bawah gantungan tiang nasib, hamba Allah yang merdeka)
Ditulis oleh:
(Anonim) - Arab 2011