Siang itu aku terburu-buru untuk bergegas ke kantin,
maklum perutku sudah mengeluarkan nyanyian tadi karena seperti biasa aku lupa membawa
sarapanku karena terburu-buru berangkat ke sekolah. Tiba-tiba ponselku bergetar.
Aku melihat ke layar ponsel, ternyata Irvan yang mengirim pesan singkat
kepadaku. Ia ingin menjemputku pulang sekolah sore ini agar bisa sekalian pergi
berenang—karena memang pemandian umum itu tak jauh dari rumahku.
Aku membalas pesan itu dan mengiyakan keinginannya. Irvan adalah pacar baruku. Sudah
sekitar tiga minggu kami jadian. Ia pemuda yang pendiam, kata teman-temanku. Bahkan
kata mamanya ia agak bandel, namun tidak bagiku, dia hanya kurang bisa
berkomunikasi dengan baik sehingga ia kurang bisa mengeluarkan ekspresi dan
pendapatnya. Dia
baik dan sopan—hanya
saja aku terkadang tidak paham benar apakah dia benar-benar mencintaiku atau tidak.
Tentu saja, hal ini membuatku ragu. Ditambah banyak
teman yang mengingatkanku kalau bersamanya takkan mudah, mengingat di daerahku
terdapat suatu mitos bahwa warga di barat sungai Brantas (kulon kali) tak akan
mulus kehidupannya jika menikah dengan warga yang berasal dari timur sungai (wetan kali). Jika hubungan
di antara mereka dipaksakan, maka mereka akan tertimpa musibah atau kematian.
Sebenarnya aku sama sekali tidak percaya dengan hal itu, karena bagiku Allah-lah yang menentukan ajal manusia dan hanya dengan izin
Allah-lah
semua bisa terjadi, namun
tetap saja hal ini mengganggu pikiranku karena aku tinggal di wetan kali dan Irvan berada di kulon kali. Aku tak ingin berpikir lebih jauh
lagi karena sebenarnya aku juga belum tahu apakah aku benar-benar mencintai
dirinya—maklum baru
tiga minggu lalu ia menyatakan cintanya.
---
Sore itu aku pulang diantar Irvan. Rasanya lelah sekali, namun aku senang hari ini hari
terakhir sekolah, karena
besok libur awal puasa dan akan masuk lagi setelah lebaran. Mungkin karena libur panjang itu, Irvan beralasan untuk menjemputku
karena pasti kita tak akan bisa bertemu saat liburan karena keluargaku tak tahu bahwa kami berpacaran. Selain itu, pasti kita sibuk menghabiskan
liburan ke luar kota untuk menghabiskan waktu liburan masing-masing. Aku memang beberapa kali pacaran, namun aku selalu menerapkan gaya pacaran
yang sehat dan cerdas.
Aku
tak mau merusak hidupku hanya dengan mencintai seorang laki-laki.
Sebenarnya
gaya pacaran seperti ini
sangat
sering membuatku patah hati, mungkin
karena aku tak ingin disentuh oleh pacar-pacarku, namun aku sendiri memang sangat
berharap ada seseorang yang tulus mencintai diriku. Memang tak mudah mendapatkan
laki-laki yang seperti ini.
Liburan terasa berjalan begitu cepat. Tak terasa aku
melewati hari raya dan mengunjungi sanak saudaraku dengan begitu menyenangkan. Hari
ini adalah hari pertama masuk semester baru. Aku masih ingat hari itu adalah
hari Senin. Hari itu cerah dan sekolahku mengadakan tradisi halalbihalal. Kami,
para siswa, menyalami guru-guru dan setelah itu kakak-kakak kelas dan
teman-teman kami. Setelah
usai bersalaman dengan semuanya aku masuk ke
dalam
kelas dan berkumpul dengan teman-temanku.
Seketika
itu pandanganku tertuju ke jendela. Aku melihat
masih
banyak kakak-kakak kelas yang masih saling bersalamanan. Aku melihat seseorang yang sangat menarik
pandanganku dan seakan waktu berhenti berjalan . Serasa bumi berhenti berputar dan
seketika itu dunia pun serasa hitam putih. Aku hanya melihat sosok di sanalah yang penuh warna—seperti di film-film aja—namun demikianlah yang aku rasa. Kemudian timbul di hatiku pertanyaan-pertanyaan dan
rasa penasaran terhadap dirinya yang amat sangat.
Perasaan itu bukannya tak beralasan, namun dalam
pandanganku aku melihat sosok yang begitu kharismatik yang terpancar dalam
dirinya, dan dizaman seperti ini dan lingkungan sekolah yang bonafite
seperti ini kok masih ada orang yang berpenampilan sederhana dan wajahnya yang
teduh masih terbayang senyuman dan kharismanya yang mengusik pikiran dan
perasaanku.
Itulah pertama kali aku melihatnya dan tertarik
padanya. Sejak saat itu aku jadi terus ingin
melihatnya dari jauh dan ingin mengetahui apa yang ia perbuat, tetapi aku selalu tak berani
berpapasan atau berlalu di depannya. Jika hal itu terjadi,
aku pasti lari sekencang-kencangnya, karena aku selalu tak kuasa menahan
gejolak dan degup jantungku seakan berdentum kencang jika tak sengaja melewatinya. Aku tak tahu perasaan apa ini dan bagaimana aku menjelaskannya—yang pasti aku mulai menyukai sosok
ini. Ya, dia lelaki bermata teduh.
Ditulis oleh:
Rahmah Hanggraini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar