Indonesia tengah menghadapi tantangan baru yaitu adanya isu-isu
intoleransi dan ekstremisme. Apabila kita berselancar di media sosial, dapat
terlihat bagaimana masalah ini terjadi. Fitur kolom komentar yang ada di platform
media sosial acapkali menjadi arena debat terbuka bagi “sarjana internet” untuk
mempertunjukkan “riset keilmuannya”. Adu fatwa akan tafsir Alquran, menyalahkan
kelompok lain, dan mengancam umat yang berbeda agama, menjadi tontonan yang
sering kita saksikan di media sosial. Padahal, jika diperhatikan lebih lanjut,
mereka yang aktif debat kusir di kolom komentar tidak memiliki kemampuan yang
mumpuni akan ilmu-ilmu agama serta bahasa Arab.
Umat Islam sebagai kelompok agama terbesar di Indonesia, memiliki
peran yang signifikan dalam kemajuan NKRI. Pemahaman agama Islam yang baik,
akan melahirkan akhlak serta penerapan agama yang baik pula. Islam Indonesia
yang menjunjung tinggi persatuan serta toleransi merupakan komponen penting
dalam kebudayaan Indonesia. Hal ini terbukti dalam sejarah perjuangan
Indonesia, yaitu bagaimana para peletak dasar negara ini berani membuat
keputusan besar untuk mengganti sila pertama pancasila demi merangkul umat
beragama yang berbeda. Kesalahan dalam memahami agama yang melahirkan sikap
intoleran, paham ekstrimisme, aksi-aksi terorisme, dan lain sebagainya
menimbulkan pertanyaan besar di benak umat Islam Indonesia, apa yang sebenarnya
terjadi?
Paham ekstremisme dan tindakan terorisme sejatinya tidak pernah dikenal
dalam Alquran, hadis,maupun liturgi-liturgi Islam lainnya. Kesalahpahaman ini
lahir dari adanya misinterpretasi ayat maupun dalil yang ada dalam Alquran. Misalnya,
mengenai makna kata jihad. Menurut bahasa, jihad berasal dari kata jahada
yang memiliki arti ‘bersungguh-sungguh’. Jihad tidak hanya dimaknai sebagai
perang, tetapi jugabisa dipahamisebagai usaha sungguh-sungguh dalam melakukan
kebaikan. Seseorang yang mengorbankan hartanya untuk membantu orang lain dapat
dikatakan berjihad. Begitupun dengan seorang pelajar yang sungguh-sungguh
belajar agar dapat mengamalkan ilmunya bagi kebermanfaatan masyarakat, juga
sedang melakukan jihad. Pemahaman yang tekstual dan parsial akan dalil serta
disertai minimnya kemampuan agama juga bahasa Arab menciptakan misinterpretasi
makna dari dalil tersebut. Jika hal ini terjadi, akan lahir kelompok-kelompok
yang melakukan tindak kekerasan, aksi main hakim sendiri atas dasar “seruan
agama”, dan sebagainya.
Untukbisa memahami agama Islam dengan seutuhnya, sudah barang tentu
seseorang harus memiliki kemahiran dalam berbahasa Arab. Mempelajari bahasa
Arab tidak kalahpentingnya untuk dipelajari bagi setiap orang seperti
mempelajari bahasa asing yang lainnya. Setidaknya terdapat enam alasan
masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, harus bisa berbahasa Arab. Pertama,
bahasa Arab adalah bahasa Alquran. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam
Q.S.Yusuf (12):2 dan Q.S. an-Nahl(16):103. Memahami bahasa Arab akan mempermudah
seseorang untuk memahami agama Islam. Kedua, bahasa Arab adalah salah satu dari
enam bahasa resmi yang digunakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Lima bahasa
lainnya adalah Inggris, Prancis, China, Spanyol, dan Rusia. Ketiga, bahasa Arab
bersama bahasa Latin dan Sanskerta merupakan kelompok bahasa yang besar dan
tua. Mempelajari bahasa Arab membuka jalan bagi kita dalam memahami sejarah peradaban
manusia karena bangsa Arab merupakan bangsa yang memiliki sumbangsih besar
dalam peradaban modern. Hanya bahasa Arablah yang bertahan digunakan sebagai
bahasa resmi bagi 22 negara di duniakarena terus dipertahankan oleh liturgi-liturgi
umat Islam dan aktif dipakai para penggunanya. Keempat, bahasa Arab digunakan
di 22 negara Liga Arab. Indonesia pun telah menjalin kerjasama strategis dengan
negara-negara Arab dalam berbagai macam sektor seperti minyak dan pertahanan.
Kelima, terdapat sekitar 20 persen kosakata dalam bahasa Indonesia yang
merupakan serapan dari bahasa Arab. Hal ini memiliki arti, bahasa Arab dan
bangsa Arab mempunyai hubungan historis yang erat dengan kebudayaan Indonesia
sehingga dengan memahami bahasa Arab, kita akan lebih mudah dalam menulusuri
budaya maupun identitas kebangsaan kita. Terakhir, banyak dari warga Indonesia
yang bekerja di negara-negara Arab dalam berbagai bidang. Hal ini menjadi vital
bagi pemerintah Indonesia untuk memfasilitasi kemampuan bahasa Arab bagi
penduduknya agar dapat berkomunikasi dan memahami masyarakat Arab.
Sebelum individu dikatakan mendapat legalitas sebagai seorang ulama
yang bisa menafsirkan ayat-ayat Alquran maupun hadisNabi, mereka harus
menguasai ilmu bahasa (linguistik) Arab dan ilmu-ilmu agama Islam lainnya.
Sebut saja di antaranya adalah ilmu qawā‘id (gramatika Arab) yang
terdiri dari ilmu nahu (sintaksis) dan saraf (morfologi) yang ada dalam
linguistik Arab. Saraf atau morfologi adalah ilmu mengenai kata. Sementara, sintaksis
merupakan ilmu bahasa yang mengkaji pada tingkatan frasa, klausa, dan kalimat.
Dalam bahasa Arab, i‘rabatau perubahan bunyi akhir kata merupakan bagian
dari ilmu sintaksis ini. Menguasaiilmu-ilmu tersebut pun memerlukan kesungguhan
dan waktu yang tidak sebentar. Ilmu gramatika Arab berguna salah satunya untuk
membaca teks-teks yang tidak berharakat (gundul) serta memahami makna kalimat
dalambahasa tersebut. Namun, banyak dari umat Islam–khususnya di Indonesia–yang
tidak memiliki kecakapan berbahasa Arab. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya fasilitas
dari pemerintah berupa pembelajaran khusus mengenai bahasa Arab di
sekolah-sekolah umum maupun kurangnya kesadaran masyarakat sendiri mengenai
pentingnya berbahasa Arab.
Di tengah dinamika yang tidak menentu akan stabilitas dunia,
ancaman-ancamanterutama dari segi ideologi menjadi rawan bagi Indonesia. Paham takfiri
(mengafirkan kelompok lain) dan paham-paham yang serupa dikhawatirkan menggeser
nilai-nilai inklusivitas Islam Indonesia. Namun, yang menjadi persoalan adalah
banyak dari umat Islammemiliki keinginan tinggi untuk mempelajari agama, tetapi
tidak mendapat fasilitas pembelajaran agama yang tepat atau hanya belajar
secara mandiri dengan media internet serta buku-buku. Pada dasarnya, hal ini
bisa saja dilakukan mengingat tersedianya kemudahan di era modern seperti saat
ini, tetapi akan menjadi masalah jika kita tidak memiliki pedoman dan dasar
yang kuat terlebih dahulu sertahanya mencari tahu suatu perkara agama melalui
konten-konten yang tidak jelas kebenaran maupun sumbernya.
Seseorang yang tidak memiliki kemampuan dalam berbahasa Arab kerap
menafsirkan suatu ayat Alquran ataupun hadis hanya bermodalkan terjemahannya.
Apabila hal ini terjadi, akan timbulmisinterpretasi berupa gejala pemahaman
dalil secara tekstual tanpa menilik kontekstualitas seperti maksud ayat, makna, sejarah, dan lain-lain
dalam memahami maksud ayat tersebut. Dengan demikian, umat Islam Indonesia akan
semakin kuat dan toleran apabila memiliki kemampuan dalam berbahasa Arab.
Keilmuan yang mumpuni dalam berbahasa Arab akan membentuk pemahaman agama Islam
yang baik, komprehensif, dan inklusif sehingga potensi perpecahan serta
bentuk-bentuk eksklusivitas dengan sendirinya akan tererosi dalam kehidupan
berbangsa di NKRI. Akhirnya, negara ini pun bisa lebih
berfokus pada program pembangunan serta kegiatan yang produktif untuk masa
depan.
Ditulis oleh : Farid Mubarok, Sastra arab 2017